Batu Buyong |
Kelebihan
obyek wisata ini adalah sebuah batu seukuran lapangan bulutangkis yang
terlihat agak unik. Yaitu, seperti sebuah batu yang memang digeletakkan
di atas sebuah batu datar lainnya. Selain
sebagai tempat wisata, kawasan obyek wisata Batu Buyong ini juga
dikenali masyrakat sebagai tempat yang memiliki nuansa magis cukup kuat.
Hingga kerapkali orang-orang mendatangi Batu Buyong untuk bernazar,
semisal meminta sesuatu seperti nomor buntut dan sejenisnya.
Banyaknya masyarakat yang menjadikan Batu Buyong sebagai tempat bernazar, tak terlepas dari cerita dibalik keberadaan dan asal usul Batu Buyong itu sendiri. Yang konon kabarnya hanya sebuah batu kecil seukuran kepala bayi (buyong, red.) yang berasal dari Kerajaan Majapahit.
Banyaknya masyarakat yang menjadikan Batu Buyong sebagai tempat bernazar, tak terlepas dari cerita dibalik keberadaan dan asal usul Batu Buyong itu sendiri. Yang konon kabarnya hanya sebuah batu kecil seukuran kepala bayi (buyong, red.) yang berasal dari Kerajaan Majapahit.
Dikisahkan,
dalam satu misi perluasan wilayahnya, satu armada kecil dari Kerajaan
Majapahit melihat sebuah ‘gosong’ yang aneh. Tampak seperti ‘gosong’,
tapi pemandangan dari laut sangatlah indah. Terpesona dengan keindahan
gosong tersebut, serempak semua awak perahu menghentikan pekerjaannya.
Mereka memilih menikmati keindahan ‘gosong’ tersebut daripada melakukan
pekerjaan. Namun demikian, kendati memiliki kesempatan, mereka tak berani langsung mendarat ke gosong tersebut.
Takjub
dengan keindahan gosong tersebut, para awak perahu dari Kerajaan
Majapahit seperti merasakan hanya mendatangi sebuah pulau tak
berpenghuni saja. Tapi, berdasarkan pengalaman di pulau-pulau lain,
mereka merasa yakin bahwa ‘gosong’ yang indah ini pasti ada penghuninya.
Dengan keyakinan tersebutlah kemudian mereka menyempatkan diri singgah
sebentar untuk sekadar beristirahat sambil menikmati indahnya ‘gosong’
tersebut.
Sesampainya di tanah Jawa, pimpinan armada kecil itupun segera melapor kepada Raja. Menceritakan pulau yang mereka temukan yang dianggap ganjil dan penuh misteri ini. Mendapat laporan demikian Raja merasa perlu untuk segera menanggapinya. Pertemuan singkat pun digelar untuk memutuskan apakah pulau tersebut akan diberi tanda sebagai milik Majapahit. Di akhir pertemuan Raja pun menginstruksikan kepada hulubalangnya untuk membuat sebuah tanda berupa sebuah batu yang dibuat dari ‘batu dapur’ (tanah liat yang dibulatkan, biasanya digunakan untuk membuat dapur api di rumah-rumah di kampung, sebesar kepala buyung –bayi, red.).
Sesampainya di tanah Jawa, pimpinan armada kecil itupun segera melapor kepada Raja. Menceritakan pulau yang mereka temukan yang dianggap ganjil dan penuh misteri ini. Mendapat laporan demikian Raja merasa perlu untuk segera menanggapinya. Pertemuan singkat pun digelar untuk memutuskan apakah pulau tersebut akan diberi tanda sebagai milik Majapahit. Di akhir pertemuan Raja pun menginstruksikan kepada hulubalangnya untuk membuat sebuah tanda berupa sebuah batu yang dibuat dari ‘batu dapur’ (tanah liat yang dibulatkan, biasanya digunakan untuk membuat dapur api di rumah-rumah di kampung, sebesar kepala buyung –bayi, red.).
Mendapat
instruksi demikian hulubalang pun segera menyiapkan sebuah batu dapur
lengkap dengan tali rantai yang panjang sebagai ‘pengikat’ pulau
tersebut dari Pulau Jawa. Setelah semua perlengkapan siap rombongan kedua pun berangkat menuju ke pulau misterius tadi. Namun, berbeda dengan rombongan sebelumnya,
kali ini anggota rombongan jauh lebih banyak dari rombongan yang
menemukan pertama kali. Singkat cerita setelah rombongan tadi sampai di
pulau misterius tadi, mereka segera meletakkan Batu Buyong di tempatnya
sekarang ini. Dari batu Buyong itu pula lalu diikatkan rantai hingga
sampai ke Pulau Jawa. Setelah tugas tersebut selesai, rombongan itupun
terpisah dua. Satu rombongan dengan anggota cukup banyak kembali ke
Jawa. Sedangkan sebagian kecil tetap tinggal tersebut untuk mengawasi
sekaligus menjaga pulau tersebut agar tidak diambil orang lain. Penjaga
inilah yang konon kabarnya masih menghuni daerah dimana batu tersebut
diletakkan. Kepada ‘beliau’lah orang-orang minta sesuatu untuk
kemudahan-kemudahan yang bersifat duniawi.
Saat
ini batu buyung tadi sudah tidak seperti keadaannya pertama kali dibawa
dari tanah Jawa, yang hanya seukuran kepala bayi. Tapi sudah membesar
hingga menjadi seukuran lapangan bulutangkis. Namun, yang aneh bin
ajaib, letak batu buyung ini persis seperti sebuah batu yang memang
digeletakkan di atas sebuah batu datar lainnya. Menurut
pendapat setengah orang, jika batu ini didorong beramai-ramai ia akan
tergeer ke lautan. Tetapi karena sekarang sudah dianggap batu
berpenghuni, maka orang tak berani lagi membuktikannya. Pendapat lain
juga mengatakan bahwa, penghuni Batu Buyung saat ini ada tiga orang.
Yaitu Bujang Tanggok (Melayu/Islam); Taopekong Gambar Melayang
(Cina/Khong Hu Cu); dan Penderas Kilat Di Awan (Kulit Putih/Kristen).
Pendapat
lain juga menyebutkan bahwa, permintaan ‘sesuatu’ kepada penunggu Batu
Buyong ini akan bisa dikabulkan setelah si peminta melakukan satu
pertapaan yang sangat berat ujiannya. Mula-mula pertapa dilemparkan ke
Gunung Baginda, lalu oleh penghuni Gunung Batu Baginda dikembalikan ke
Batu Buyung. Lempar melempar itu terjadi sebanyak tujuh kali secara
berulang-ulang. Nah, jika di pertapa berhasil melewati ujian pertama
ini, maka si pertapa akan dilemparkan ke sebuah gosong, bernama GOSONG
PARAK, untuk diuji secara magis. Setelah seorang pertapa berhasil
melewati ujian terakhir ini, barulah apa yang diinginkan dan disampaikan
pertapa sebelumnya akan dikabulkan. Memang
sejauh ini tak ada yang menceritakan sudah berapa banyak pertapa yang
dikabulkan permintaannya. Namun, sebagian masyrakat tetap yakin bahwa,
batu yang semula hanya berukuran sekepala bayi itu dan telah berubah
menjadi sebesar lapangan bulutangkis itu, tetap dijaga oleh pasukan yang
dikirim oleh Raja Majapahit ketika menguasai pulau Belitung, hingga
jadi terkesan angker.
Di tulis dan di ceritakan kembali oleh BULE HUZAINI SAHIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar